Rabu, 25 Februari 2015

JAGA MAKANAN YANG MASUK KE DALAM TUBUH


Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun, dan kekhusyu’-an dlm pelaksanaannya.

Misalnya, sholat yang berkualitas adalah yang didahului oleh wudhu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta khusyu’ dalam melakukan setiap rukunnya.

Saad bin Abi Waqash ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan.
Rasulullah SAW tidak mengajari Sa’ad tentang syarat, rukun, ataupun kekhusyu’-an. 
Rasulullah SAW mengatakan:
 “Perbaikilah apa yang kamu makan, hai Sa’ad” (HR Thabrani)

Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas.
Yaitu, bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan ‘kulit luar’, tapi lupa akan hal-hal yang lebih penting dan fundamental.

Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa sholat atau haji harus dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah atau ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berakhir dengan ditolaknya ibadah dan munajat kita.

Rasulullah SAW telah mengingatkan:
“Demi Dzat Yang menguasai diriku, jika seseorang memakan harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari” (HR. Thabrani).

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya”.

Di sini terlihat jelas hubungan antara kualitas ibadah dan sumber penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dimakan berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.

Nabi Daud as adalah seorang penempa besi dan penjahit
Nabi Zakaria as seorang tukang kayu
Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya.

Demikian pula dengan para sahabat, mayoritas kaum Muhajirin berkerja sebagai pedagang, sementara kaum Ansar mengendalikan hidupnya dari pertanian.

Selain itu, ketika seseorang bergelimang dengan harta yang haram, dan dia menafkahi keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya sendiri, tapi juga menodai ibadah dan masa depan anak-isterinya.

Seperti komentar Syeikh ‘Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah:
“Orang tua seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak.
Sebab, ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram”

Saudaraku… di dalam harta yang kita dapat, disitu terdapat hak orang lain.
Sudahkah kita mengeluarkannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar